Kisah ini pernah diceritakan oleh Ustaz Muhadir ketika Kuliah Aqidah mingguan semester lepas.Sama-samalah kita menghayati serta mengambil iktibar dan pengajaran daripadanya.
Jabir bin Abdullah Al-Anshari meriwayatkan kisah hidup seorang pemuda
Anshar bernama Tsa’labah bin Abdul Rahman. Sejak masuk Islam ia selalu
setia melayani Rasulullah SAW dengancekatan. Suatu ketika Rasulullah SAW
mengutusnya untuk suatu keperluan. Saat sedang menjalankan tugas tersebut
kebetulan ia melewati sebuah rumah milik salah seorang sahabat Anshar. Tiba-tiba
secara tak sengaja ia melihat wanita penghuni rumah itu yang sedang mandi.
Serta merta ia ketakutan. Ia sangat khawatir wahyu akan turun kepada Nabi
SAW berkaitan dengan perbuatannya. Maka ia pun segera berlari menjauhi pusat
kota. Ketika sampai di pegunungan yangada di antara kota Mekkah dan Madinah,
ia pun mendakinya. Tentu saja Nabi SAWmerasa kehilangan.
Hal itu berlangsung selama empat puluhhari. Hingga akhirnya Allah mengutus
Jibril untuk menyampaikan wahyu: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu
memberikan salam dan berfirman kepadamu yang isinya: bahwa seorang laki-laki
dari ummatmu berada di antara pegunungan ini dan telah memohon perlindungan
kepada-Ku.”Mendengar wahyu tersebut beliau kemudian bersabda: “Wahai Umar
dan Salman, berangkatlah kalian sekarang dan ajaklah kembali Tsa’labah bin Abdul
Rahman kemari.” Keduanya pun segera berangkat menyusuri jalan perbukitan
yang ada di Madinah, hingga bertemu dengan seorang pengembala bernama
Dzufafah. Umar lalu bertanya, “Apakah engkau tahu seorang pemuda bernama
Tsa’labah yang tinggal di antara kawasan pegunungan ini?” “Mungkin yang Engkau
maksudkan itu adalah seorang yang lari dari neraka jahannam?”jawab Dzufafah.
“Dari mana engkau tahu bahwa dia lari dari neraka jahannam?’ tanya Umar lagi.
“Sebab, setiap malam dia ke luar kepada kami dari kawasan antara pegunungan itu
sambil meletakkan tangannya di atas kepala sambil berkata, “Wahai Allah,
mengapa tidak Engkau cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak
membiarkanku untuk mendapatkan keputusan?” jawab Dzufafah. “Itulah
orang yang sedang kami cari,” jawab Umar sigap.
Kemudian, berangkatlah mereka menemui Tsa’labah. Ternyata benar, ketika hari
menjelang malam, Tsa’labah keluar. Disekitar lereng pegunungan, mereka segera
menemuinya. Umar kemudian menghampiridan mendekapnya seraya membujuknya untuk
kembali kepada Rasulullah SAW. “Wahai Umar, adakah Rasulullah mengetahui
dosaku?” kata Tsa’labah. “Aku tidak tahu, hanya saja kemarin beliau
menyebut-nyebut namamu dan kemudian memerintahkan agar aku dan Salman
mencarimu,” jawab Umar. “Aku mohonengkau tidak membawaku kepada beliau,
kecuali bila beliau sedang shalat,”pinta Tsa’labah. Setelah sampai ke
tempat tujuan, Tsa’labah langsung ikut shalat berjamaah bersama Rasulullah SAW.
Ketika itulah Rasulullah SAW membaca sejumlah ayat Al-Qur’an. Mendengar
bacaan beliau, tiba-tiba ia jatuh pingsan. Setelah Salam Rasulullah SAW
bersabda: “Wahai Umar dan Salman,bagaimana dengan Tsa’labah?” “Itu dia,
ya Rasulullah,” jawab mereka sambil menunjuk ke arah sosok tubuh yang sedang
terbaring. Rasulullah SAW segeraberdiri dan menghampirinya. Beliau
menggerak-gerakkannya hingga ia pun siuman kembali. “Apa yang menyebabkan
engkau pergi dariku?” tanya beliau lembut. “Dosaku, wahai Rasulullah,”
jawab Tsa’labah. “Bukankah pernah kutunjukkan kepadamu tentang ayat yang
dapat menghapuskan dosa dan kesalahan? Bacalah: Rabbanaa aatina /id dunyaa
hasanah wafil aakhirati hasanah wa qinaaadzaaban naar (Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka/
Q.S. Al-Baqarah: 201),” tuntun Rasulullah. “Benar, wahai Rasulullah.
Tapi dosaku terlalu besar,” jawabnya. “Akan tetapi Kalam Allah itu jauh lebih
besar lagi,” tegas beliau. Setelah itu,beliau memerintahkannya pulang.
Setibanya di rumah ia jatuh sakit selamadelapan hari. Mendengar hal itu, Salman
pun segera menghadap Rasulullah SAW.“Wahai Rasulullah, masihkah Engkau
memikirkan Tsa’labah? Ia kini sedangsakit keras,” cerita Salman. “Mari kita
bersama-sama menjenguknya,” ajak beliau.
Setiba di kediaman Tsa’labah, Rasulullah SAW meletakkan kepala Tsa’labah di
pangkuan beliau. Tapi, ia berusaha menggeser kepalanya kembali dari
pangkuan beliau. “Mengapa kamu geser kepalamu dari pangkuanku?” tanya beliau.
“Karena kepala ini penuh dengan dosa,”jawab Tsa’labah murung. “Apa yang kamu
keluhkan?” tanya beliau lagi. ‘Seperti ada gerumutan semut-semut di antara
tulang, daging, dan kulitku,” jawab Tsa’labah menahan sakit. “Apa yang kamu
inginkan?” tanya beliau lagi. “Ampunan dari Tuhanku,” jawab Tsa’labah mantap.
Kemudian turunlah Jibril menemui Nabi SAW. “Wahai Muhammad, sesungguhnya
Tuhanku membacakan salam untukmu dan berfirman kepadamu: Andaikata hamba-Ku
ini menghadap-Ku dengan membawa kesalahannya sepenuh bumi, Aku akan
menyambutnya dengan ampunan-Ku sepenuh bumi pula.” Rasulullah SAW kemudian
memberitahukan wahyu itu kepadanya kepada Tsa’labah. Seketika itu juga Tsa’labah terpekik gembira dan tidak lama kemudian wafat.. Rasulullah SAW
langsung memerintahkan para Sahabatnya untuk segera memandikan dan mengafani
jenazah Tsa’labah. Dan ketika selesai menyalatkannya, beliau berjalan sambil
berjingkat-jingkat. Setelah acara pemakaman, salah seorang Sahabat
bertanya kepada beliau, “Mengapa Engkau tadi kami lihat berjalan sambil
berjingkat- jingkat?” “Demi Dzat yang telah mengutusku dengan benar sebagai
Nabi, sungguh aku tidak mampu meletakkan telapak kakiku di atas bumi, karena
malaikat yang turut melayat Tsa ‘labah sangatlah banyak,” jawab beliau. Sayap
Pertama: Takut terhadap Dosa (Sekecil Apapun) Subhanallah! Begitu takutnya
terhadap satu dosa (sekali lagi satu dosa), Sang Sahabat menghukum dirinya
sedemikian berat. Hukuman yang membuatnya sakit keras itu belum
disudahinya sampai ia mendapatkan jaminan bahwa ia benar-benar telah
diampuni. Hingga Allah pun memberitahukan ampunan-Nya secara
langsung di dunia, khusus kepadanya.Bahkan, penyesalannya terhadap dosa
kecil tersebut (itu pun tidak disengaja), sampai melibatkan Jibril dan
para malaikat dalam jumlah besar untuk turut serta memberi penghormatan (dan
tentu saja doa) secara langsung di akhir hayatnya.
Berapa banyak dosa kita? Seberapa besar yang termasuk dosa besar? Berapa pula
dosa kecilnya? Astaghfirullah! Hari-hari yang kita lalui kebanyakan merupakan
hari-hari dosa. Tiada hari tanpa dosa.Ayuhlah kita kembali kepadaNYA. sesungguhnya Allah Maha Pengampun.
“Katakanlah:Hai hamba-hambaku yang melampau batas atas diri mereka sendiri, janganlah
kalian berputus asa dari rahmat Allah.Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (39:53)
This entry was posted
at Thursday, April 09, 2009
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.